Bu, menjalani peran sebagai ibu itu capek ya. Tadinya tulisan ini mau saya buka dengan pertanyaan, pernah nggak merasa capek menjalani peran sebagai seorang ibu? Tapi itu pertanyaan yang kayaknya kok apa banget. Nggak perlu dijawab, retoris, dan udah...
Bu, menjalani peran sebagai ibu itu capek ya. Tadinya tulisan ini mau saya buka dengan pertanyaan, pernah nggak merasa capek menjalani peran sebagai seorang ibu? Tapi itu pertanyaan yang kayaknya kok apa banget. Nggak perlu dijawab, retoris, dan udah tau jawabannya. Capek. Lelah. Physically. Mentally.
Saya tidak sedang mengajak ibu untuk meromantisasi peran kita. Ibu yang derajatnya sungguh mulia, peran yang luar biasa. Iya, kita tau itu kan ya Bu? Kita juga sadar, bahagia dan bersyukur menjalani peran kita, keseharian kita. Tapi kita juga manusia biasa. Yang bisa lelah dan perlu mengambil jeda.
Seorang ibu menurut saya harus rutin mengambil jeda. Untuk lebih banyak mendengarkan diri sendiri, yang sudah terlalu penuh dengan suara anak dan suami. Meluangkan waktu (me time) untuk diri sendiri, agar lebih nyaman dengan diri sendiri. Bukan semata me time untuk kabur sesaat, tapi me time yang berkualitas. Yang bisa mengisi kembali tangki cinta kita hingga siap mencurahkannya untuk keluarga.
Ini cerita saya yang karena sering lupa dan terlewat mengambil jeda, akhirnya ‘dipaksa’ oleh keadaan. Alias sakit dan healing ke RS dua hari. Sendiri :”).
Mengabaikan Sinyal Tubuh
Sebenarnya dari awal November itu badan udah ngerasa nggak enak. Tanggal 6 November ada acara, malem sebelumnya udah minta kerokin sama suami, minum Tolak Angin terus tidur. Ngerasa enakan, akhirnya paginya tetep pergi. Tapi sepanjang acara udah nggak enak banget. Keringet ngucur tapi rasanya dingin. Pas dijemput suami, mampir makan mie ayam buat ngangetin badan. Ngerasa enak tuh. Pulang istirahat bentar langsung ngisi kelas literasi di Saung Aksara.
Baca Juga: Seni Kreatif Ala Saung Aksara
Hari-hari setelahnya ngerasa nggak pernah nafsu makan. Mbayangin comfort food yang biasanya jadi andalan aja, nggak ada yang menggugah selera. Akhirnya beberapa kali kelewat makannya hiks. Terus hari Rabu setelahnya, kehujanan. Meski pakai jas hujan tapi tetep aja dingin ya kan. Terus malemnya meriang dan paginya diare. Komplit nggak tuh.
Lemesss banget bestie, sampai minta tolong tetangga buat jemput anak-anak sekolah. Les komputer juga saya liburin. Malemnya ke dokter dalam kondidi lela lelo tak berdaya, habis diare dan muntah-muntah. Saking nggak tahannya, di mobil langsung minum obat dari dokter terus rebahan di kursi tengah. Wes nggak nggenah blas rasane.
Alhamdulillah malam itu tidurnya enak, dan pas bangun pagi juga ngerasa jauuuh lebih baik. Jadi yasudah saya pun menjalani aktivitas seperti biasa. Sampai hari Minggunya handle acara pelatihan perawatan jenazah yang memang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.
Eee lhaa, malemnya pusing luar biasa dan kembali muntah-muntah. Akhirnya suami ngajak ke IGD aja. tadinya mikir nanti anak-anak gimana, kerjaan gimana, mana udah waktunya nggarap laporan ini itu. Kan kaaan, lagi sakit aja kok susah banget mikirin diri sendiri. Huft.
Halo, IGD
Rundingan sama suami mau ke RS mana. Pilihannya yang lebih dekat rumah atau lebih dekat ke kantor. Tapi mengingat bahwa suami yang nanti akan wara-wiri, jadi akhirnya milih yang dekat kantor saja. IGD sepi karena itu udah mayan malem, jam 9an kalau nggak salah.
Setelah periksa ini itu, diambil darah yang entah berapa kali pindah karena pembuluh darahnya pecah mulu. Katanya venanya keciiil ini Bu. Dan berujung pakai jarum suntik yang untuk bayi masaaa, wkwk. Pasang infus, dan masuk kamar.
Setelah memastikan semuanya beres, suami pulang dong. Karena kan pagi-pagi harus anter anak sekolah. Tadinya mikir balik pagi aja, tapi takut buru-buru karena mayan jauh RS nya kalau dari rumah. Jadi ya sudahlah yaaa, kutidur sendirian.
Hwaaa, yang biasanya tidur selalu sama Ammar, ngelonin, ini sunyi sepi sendiri.
Dan bisa ditebak, malah jadi susah tidur dweh :”)
Terakhir di RS kapan sih, pas lahiran Ammar, dan itu kan bukan sakit ya. Heuheu, 2 tahun lebih. Kata suami, udah anggap aja healing. Lagian biar BPJSnya dipakai, tiap bulan udah dipotong dari kantor, Ahahahaha. Jujur mending nggak usah pakai nggak sih.
Jadi Mengambil Jeda
Jadi banyak ngobrol sama diri sendiri. Meminta maaf karena rasa-rasanya selama ini terlalu sibuk dan riuh ke luar, hingga lupa menengok ke dalam. Merenungi lagi, menyusun lagi prioritas, merasa pekerjaan mengambil terlalu banyak porsi dari pikiran dan tenagaku selama ini.
Menjadi relawan pemberdaya di desa, mungkin memang bukan hanya disebut pekerjaan. Karena ia begitu menyatu dengan jiwa dan raga. Menuntut ide, gagasan, eksekusi, evaluasi, belum lagi tanggung jawab baik dalam bentuk laporan maupun moral. So draining. Kapan-kapan bakalan bahas ini lebih dalam deh.
Healing di RS 2 hari, ketemu suami pas makan siang sama makan malam aja. Makan bergizi dan teratur, obat masuk terus, diare dan muntanya udah babay. Akhirnya boleh pulang. Saya menyebutnya bilas. Udah nggak ada cerita badan ngerasa enak dikit eh dibawa aktivitas ambruk lagi. Heuheu.
Dan secara jiwa juga jauuuh lebih baik. Lebih tenang, lebih lega, lebih happy. Masya Allah. Ketemu anak-anak juga Ya Allah, rasanya lebih fulfil. Kangen banget juga karena biasanya bareng-bareng terus kan. Beyond happy, alhamdulillah?
Jadi Bu, rutin ambil jeda ya. Jangan sampai akhirnya keadaan yang memaksa, kaya cerita saya. Menjadi ibu yang sehat raga dan jiwanya bukanlah sebuah tujuan, melainkan sebuah perjalanan. Jadi pastinya harus sering dirawat ya bu Ibuuu. Sering peluk diri sendiri dan berikan afirmasi positif untuk diri sendiri.
Diri sendiri yang begitu hebat dan kuat, sampai saat ini.
Tons of love,
The post Jeda Seorang Ibu appeared first on Nyakrotun.